Jumat, 21 Oktober 2011

AKAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Suatu Telaah Mengenai Cara Bekerjanya Akal menurut Al Quran)

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Secara historis, perkembangan ilmu sepanjang peradaban manusia, ditandai dengan gelobang pasat-surut, baik secara ontologis, epistemologis, maupun secara aksiologis.  Banyak Perdebatan ilmiah sejumlah aspek berkaitan dengan ilmu dari berbagai dimensinya itu.
Hal itu terlihat dengan adanya fenomena pencarian sumber kebenaran. Dalam konteks ini, misalnya, lahirlah istilah antroposentris, teosentris, dan kebanaran fisik dan metafisik. Posisi manusia sebagai makhluk berakal juga menjadi perdebatan. Bagi banyak ilmuan, mengklaim bahwa akal manusia menjadi sumber kebenaran atau pengetahuan dan menolak kebenaran metafisik. Hal ini terlihat penonjolannya pada filsafat modern (Barat). Sebaliknya, bagi kalangan ilmuan lainnya, terutama, dari kalangan ilmuan Timur (Islam) mengkalaim bahwa akal hanyalah sumber kebenaran secondary dan di atas semua sumber kebenaran yang diklaim oleh manusia, terdapat sumber kebenaran tertinggi atau puncak kebenaran. Itulah Kebenaran Tuhan (Wahyu).  Bahkan, misalnya, Al-Gazali, mengklaim bahwa pengetahuan yang didapatkan oleh akal hanyalah pengetahuan atau kebenaran nisbi.  Kebenaran transendental dan metafisik merupakan kebenaran yang absolut.
Akhirnya, klaim kebenaran termasuk posisi akal sebagai sumber pengetahuan bukan lagi menjadi perdebatan domain ilmiah an sich, tetapi sudah memasuki wilayah ruhaniah (keimanan).  Untuk itu, masih sangat relevan untuk di kaji eksistensi akal sebagai sumber pengetahuan dan cara bekerjanya. Tulisan ini akan mengurai secara singkat posisi akal dan cara bekerjanya khususnya menurut pandangan al-Quran.
B.     Permasalahan
Bagaimana hakikat akal dan cara bekerjanya dalam perspektif Islam (al-Quran)?
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Umum tentang Akal
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan akal dengan 4 pengertian : (1) Daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan; (2) jalan atau cara melakukan sesuatu, dan upaya, ikhtiar; (3) tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan, dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan (DEPDIKBUD, 1991:15).
Kamus-kamus bahasa Arab memberikan arti akal (secara harfiah) dengan pengertian al-imsak (menahan)22. Sedangkan Ibn Mansur, mengartikan al-aql dengan 6 macam: (1) akal pikiran, Inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan,(5) tambang pengikat,dan (6) ganti rugi (Taufik Pasiak, 2004:193).
Akal juga sering disamakan dengan al-hijr (menahan atau mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka----seorang ulama-sastrawan Indonesia----mewakili pengertian itu: mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya (Taufik Pasiak, 2004:193)..
Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat”, “melekatkan”, dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tak terbatas, tak terjangkau. Namun, ketika ia ber-tajalli, maka setiap ciptaan-Nya senantiasa terbatas. Ciptaan itu “mengikat” dimensi Tuhan yang tak terbatas itu. Jadi, akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri maha luas itu (Taufik Pasiak, 2004:194)..
Fungsi “pengikatan” akal tersebut secara ilmiah-filisofis dipelajari dalam semiotika (ilmu tanda) yang begitu popular di kalangan asli sastra. Sebagaimana itu dimaksudkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1913), semiotika sangat berguna bagi semua disiplin ilmu. Makna dasar semeion (Yunani), yakni “tanda”, memiliki kaitan erat dengan ayat yang hanya dapat dipahami oleh akal. Akal dalam jenis ini yang oleh Al-Farabi dibedakan dengan intelek (Osman Bakar, 1997:98).
Menurut Al-Raghib Al-Isfahani , kata akal itu juga menunjuk pada potensi” dalam diri manusia  yang disiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Kata itu semakna dengan kekuatan berpikir  (al-quwwah  al-‘aqilat), pemahaman  (al-fahm),  tempat berlindung (al-malja’), menahan (mana’ah), hati (al-qlb) dan ingatn (dzakirah) (Taufik Pasiak, 2004:194). Makna dasar dan makna sinonim itu menunjukkan bahwa akal adalah sesuatu yang memang sengaja disiapkan Tuhan dalam diri manusia untuk menjalani kehidupannya didunia, dimana keberhasilan penggunaan akal sangat ditentukan oleh seberapa besar potensi itu diaktualkan.
Toshihiko Izutsu berpendapat (Taufik Pasiak, 2004:199). dari sudut linguistic  (ilmu kebahasan), kata ‘aql adalah kata yang “semitransparan”. Maksudnya, sebuah kata yang belum begitu jelas makna sesungguhnya. Kata Arab telefun dan dimuqratiyyah, adalah kata yang “transparan” dan mudah dimengerti karena diadopsi dari kata inggris telephon dan democracy. Walaupun sejauh menyangkut persoalan telefon, terdapat kata arab hatif yang bersifat “semitransparan”.
Untuk dapat mengerti kata ‘aqi itu, maka ia harus di buat  “transaran”. Kata nouns dalam bahasa yunani diangggap dapat mewakili kata akal yang telah dibuat “tranparan” itu. Nouns itu tepat seklai dimaknai sebagai intelek. Kata “intelek” atau kata akal yang telah ditranparansi itu memiliki makna intelektual dan spiritual. Kata lain yang semakna dengan itu adalah intelectus (latin) dan vernuft (Jerman).
Kata-kata yang disebut diatas itu mennjuk sesuatu yang melebihi penalran logis. Jika kecerdasan praktis, rasio, atau reason menunjuk pada kemmpuan menalar secara logis, dengan langkah-langkah sistematis, yang tentu membutuhkan fakta dan keterlibhatan panca indra, maka ‘aql dalam pengertian intelek (atau nouns) melebihi semua itu (Lorens bagus, 2000:728).
B.     Hakikat Akal dan Cara Bekerjanya Menurut Islam (AlQuran)
Dalam Al-Quran, kata akal mendapat kualifikasi religious sebagai keyakinan dan itelektualitas. Seyyed Hossein Nasr (1977), menyebut akal (di dalam kepala) sebagai proyeksi atau cermin dari hati (qaib), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia. Dengan itu, bukan hanya instrumen untuk mengetahui, melainkan juga menjadi wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia. Teori akal aktif dari Ibn Sina dan Al-Kindi maupun hierarki ilmu dari Al-Farabi dapat menjelaskan hali itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian mewujud dalam bentuk jiwa (spirit). Menurut Rhenis Meister Echart, “didalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak mungkin dibentuk. Sesuatu itu adalah intellect (Cyril Glasse, 1999).
Dengan mencermati keluasan makna, pada akhirnya secara umum diketahui bahwa penggunaaan kata al-‘aql dalam posisi sebagai kata maupun kalimat mengandung dua potensi dan kecenderungan yang bersifat “rasional dan intuitif”.
Sedangkan, kata dasar al ‘aql tidak ditemui dalm al Quran. Dipakai sebagai kata kerja sebanyak 49 kai, yaitu penyebutan 1 kali dalam bentuk lampau (past tense) dan 48 kali dalam bentuk sekarang (present tense). Penyebutannya meliputi : ‘aqluh 1 kali, ta’qiluun 24 kali, na’qil 1 kali, ya’qiluhaa 1 kali dan ya’qiluun 22 kali (Harun Nasution, 1980:5). Sedangkan, menurut Yusuf Qardhawi penyebutan kata al ‘aql dalam bentuk istifham inkari (pertanyaan retoris) seperti ‘afala ta’qiluun adalah ha yang mencolok dari Al Quran. Itu terjadi karena Al Quran bermaksud menarik perhatian manusia dan bertujuan memotivasi, member semangat, dan mendorong manusia untuk menggunakan akalnya (Taufik Pasiak, 2004:205).
Materi akal atau al ‘aql mengalami pemadatan makna dalam Al Quran disebut sebanyak 49 kali dalam 28 surah, yakni 31 kali dalam 19 surah yang diturunkan di Makka dan 18 kali dalam 9 surah yang diturunkan di Madinah (Taufik Pasiak, 2004:200). Sedangkan, menurut Quraish Shihab, Al Quran menggunakan kata ‘aql untuk “sesuatu yang mengikat atau menhalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa”. Dengan menelusuri ayat yang menggunakan akar kata ‘aql, sesuatu dalam konteks di atas itu dapat dimaknai : (1) daya untuk memahami sesuatu (QS Al-‘Ankabut [29]: 43); (2) dorongan moral (QS Al-‘Anam [6]: 151; dan (3) daya untuk mengambil pelajaran, hikmah, dan kesimpulan (QS Al-Mulk [67]: 10). Missal, ditegaskan dalam Al-Quran:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami berikan pada manusia. Dan tiada yang memahaminya (ya’qiluha) kecuali orang-orang yang berilmu”. (QS Al-Ankabut [29]: 43).
 Dalam konteks ayat di atas, perumpamaan yang diberikan Allah berupa sarang laba-laba. Pemisalan itu berkenaan dengan orang-orang yang mencari pelindung selain Alla.. sebagaimana lemahnya sarang laba-laba itu, demikian pula halnya pelindung-pelindung selain Allah. Karena itu, dengan akal pikirannya, manusia diperintah untuk mengambil pelajaran dari sang laba-laba tersebut
1.    Berkaitan dengan dorongan moral, Allah menandaskan:
“……. Demikian itu yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu supaya kamu berpikir (ta’qiluun)”. (QS Al-‘An’am [6]: 151)
Kalimat terakhir dari ayat diatas itu menegaskan perintah Tuhan sebelumnya. Perintah itu berkaitan dengan sikap moral seseorang dalam menanggapi perintah-perintah Tuhan.
2. Berbuat baik pada orangtua, membunuh karena takut miskin, dan melakukan perbuatan keji, menurut konteks ayat diatas, hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral.
Orang-orang yang akalnya tidak baik.
3. Berkaitan dengan hikmah dan pelajaran, Allah menegaskan:
“….. dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (na’qilu) itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Mulk [67]: 10).
            Ayat di atas itu hendak memberikan gambaran orang-orang yang mendustai kehadiran para nabi dan rasul yang member peringatan. Mereka dikategorikan sebagai orang yang tidak memamfaatkan potensi akalnya (Quraish Syihab, 1987:294).Tiga contoh ayat diatas dapat menjelaskan makna yang dikandung oleh akal tersebut. Setidak-tidaknya terdapat dua makna yang dapat diambil dari kata akal tersebut: (1) pengertiannya sebagai akal organic, yakni “organ” yang bertanggung jawab bagi kegiatan-kegiatan intelektual dan spiritual manusia.
            Penyamaannya dengan Qalb dalam beberapa ayat Al-Quran dan teori para filosof Islam, terutama untuk fungsi mengerti dan memahami (fungsi kognitif), mendukung makna struktur tersebut. Pengunaan kata “organ” bermakna bahwa akal itu bertempat (lokus). Tempatnya, seperti disabdakan Rasulullah Saw, adalah dalam diri manusia. “Dalam diri manusia ada segumpal daging”, demikian kata Rasulullah. ‘bila daging itu baik, maka baiklah manusia itu. Jika daging itu jelek, jeleklah manusia itu. Daging itu adalah “otak manusia“ (pengganti kata al-Qalb/Kalbu)’, mengapa otak bukan kalbu  seperti yang dipahami selama ini? Karena penelitian-penelitian mutakhir telah membuktikan bahwa otak manusia memiliki tiga fungsi, sebagaimana dijelaskan sebelumny, yaitu 1) fungsi rasional-logis, 2) fungsi emosional-intuitif, dan fungsi spiritual. Fungsi akal adalah menelaah, mengerti, dan mengambil pelajaran atas semua fenomena yang ada. Akal juga berfungsi sebagai dorongan mora yang pertimbangan-pertimbangan etis dimungkinkan. Fungsi dorongan moral tersebut menyebabkan akal menjadi akal menjadi alat ‘pembeda’ antara baik dan buruk. Penemuan tentang daerah pelipis (region temporalis) dan daerah dahi (region frontalis) dalam otak manusia, terutama fungsi untuk membedakan baik dan buruk, memungkinkan kita melihat hubungan selaras otak dan akal manusia (Taufik Pasiak, 2004:203-204)..
            Inventarisasi ayat-ayat Al Quran yang memakai kata akal dapat diklasifikasikan dalam 3 bagian : (1) terkait dengan teologis, terdapat 14 ayat bersangkut paut dengan keimanan,  (2) terkait dengan kosmologis, terdapat 6 ayat menyangkut pemahaman dan keberadaan alam semesta, baik makro maupun mikro,39 dan (3) terkait dengan moralitas, terdapat 1 ayat terutama menyangkut etika pribadi dan etika social.
            Akal menurut Abi Al-Baqa ‘Ayyub ibn Musa Al-Kufi, memiliki banyak nama. Tercatat empat nama yang menonjol: (1) al-lub, karena ia merupakan cerminan kesucian dan kemurnian Tuhan. Aktivitasnya adalah berzikir dan berfikir; (2) al-hujjah, karena akal ini dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan menguraikan hal-hal abstrak, (3) al-hijr, karena akal mampu mengikatkan keinginan seseorang hingga membuatnya dapat menahan diri, dan (4) al-nuha, karena akal merupakan puncak kecerdasan, pengetahuan, dan penalaran (Abdul Mudjib, 1999:66).
            Menurut Yusuf Qardhawi, dalam Al Quran akal disebut pula dengan term fu’ad, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Karena, ia termasuk dalam salah satu dari tiga perangkat pokok ilmu pengetahuan: pendengaran, penglihatan, dan fu’ad (kalbu).
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati (fu’ad), semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Israa : 36).
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl : 78).

            Bentuk-bentuk sama “pendengaran”, abshar “penglihatan, dan af’idah “kalbu disebut dalam Al Quran dalam beberapa surat. Begitu juga dengan qlb “hati” sebagai ganti fu’ad juga terdapat dalam beberapa ayat dalam Al Quran. Seperti dalam firman Allah SWT berikut ini :
“Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al Baqarah : 7).
“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang Kuasa mengembalikannya kepadamu?" (QS. Al An’am : 46).

            Juga disebutkan dalam QS. Al A’raf : 179, QS. An Nahl : 108, QS. Al Israa : 46, QS. Al Kahfi : 57, QS. Al Hajj : 46, QS. Al Jaatsiyah : 23 (Yusuf Qardahawi, 1998:40). Qardhawi melihat kata fu’ad dalam beberapa ayat-ayat tersebut terkait kuat atau meruakan satu kesatuan dengan fungsi pendengaran dan penglihatan yang merupakan fungsi organic dari akal. Sedangkan fu’ad dan af’idata, af’idatti, af’idatu” yang lain dan tidak tersirat dalam fungsi organic akal, tercantum dalam Al Quran seperti : QS. 147:37, QS.23:78, QS.32:9, QS.46:26, QS.67:23, QS.104:7, dan QS.6:113 dan QS.28:10, QS.53:11, QS.11:120, dan QS.25:32 tidak dijelaskan oleh Qardhawi.
            Disamping menggunakan kata jadian dari akal, Al-Quran juga menggunakan beberapa kata, yang berada dalam medan semantik43 kata ‘aql, untuk menyebut kegiatan mengerti, memahami, mengingat, dan merenungkan. Kata-kata itu memiliki makna yang hamper sama,tetapi berbeda pada segi yang lain. Semuanya membawa satu makna, namun penekanan masing-masing kata itu berbeda.
            Terdapat tujuh sinonim kata akal itu : (1) ‘dabbara’ (merenungkan), (2) faqiha (mengerti), (3) fahima (memahami), (4) nazhara (melihat, dengan mata kepala), (5) dzakara (mengingat), (6) fakkara (berpikir secara dalam), dan (7) alima (memahami dengan jelas)44. Selain tujuh kata itu, masih ada kata-kata lain yang, dari segi fungsi yang ditunjukkkannya, memiliki kemiripan dengan kata akal. Yang paling mendekati adalah kata al-qlb (dalam pengganti fu’ad dan dikaitkan dengan fungsi organic akal), seperti yang sudah dijelaskan Qardhawi sebelumnya diatas.
            Dalam bahasa Persia dan Urdu, kata al-qalb disebut ‘del dan dalam bahasa Inggris disebut ‘Heart’. Dalam bahasa Arab, al-Qalb diartikan secara beragam. Ia juga diartikan organ kenyal yang berada di samping kiri dada. Kata Qalb juga diartikan jantung. Dalam Al Qur’an, kata Qalb digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang berfungsi sebagai pengendali pikiran dan kehendak, yang kita sebut akal. Dalam al-Kafi, kata Qalb dalam surah Qaf ayat 37 ditafsirkan sebagai akal (al’aql). “sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (dzikra) bagi orang-orang yang mempunyai qalb” ((Taufik Pasiak, 2004:207)..
            Berikut ini beberapa contoh lain dalam Al Quran tentang al Qalb yang memiliki arti secara tersirat dengan kata akal (Taufik Pasiak, 2004:209)., yaitu :
Contoh ayat diatas memperlihatkan bagaimana sinonim kata ‘aql,juga dipakai untuk melukiskan pekerjaan-pekerjaan akal manusia. Luas dan banyaknya pilihan kata (diksi) ini menunjukkan tingkatan-tingkatan berpikir. Dari yang sederhana, seperti melihat dan berpikir praktis, sebagaimana diwakili oleh kata nadzar, sampai pemikiran-pemikiran yang mendalam, seperti diwakili kata fakkara. Bahakan, lebih dari sekedar berpikir, manusia disuruh untuk mengambil pelajaran dan merenungkan apa yang dipikirkannya, sebagaimana ini diwakili oleh kata dabbara, tadabbur.
            Tema-tema lainnya yang berada dalam medan semantic kata akal sebagaimana dipakai dalam Al Quran diantaranya adalah:
·         Kata Al Fikr. Dalam bahasa Indonesia kata ini menjadi “pikir” dan “pakar” berasal dari Al Fikr yang dalam Al Qur’an menggunakan istilah fakkara dan tafakkarun. Menurut Quraish Shihab, kata “fikr” berasal dari kata “fark” dalam bentuk “faraka” yang dapat berarti : (1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang. Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini telah mengalami pemadatan makna melibihi sekedar makna harfianya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Fudhal bahwa tafakur adalah cermin yang akan memperlihatkan padamu kebaikan dan keburukanmu.Ibnu Qayyim Al-Jauzy juga berpendapat bahwa bertafakur ,erupakan pekerjaan hati yang paing utama dan paling bermamfaat. Kegiatan berpikir yang diselingi dengan refleksi berupa tafakur akan mengarahkan seseorangkepada kedalaman makna obyek ilmu pengetahuan. Dengan bertafakur dapat dipahami adanya hubungan yang erat antara “pikiran” dan “perasaan” hubungan antara fikr dan dzikr.
Kata Al Dzikr. Hanna Kassis (1983) melihat hubungan organic antara fikr dan dzikr melalui penelusuran kata fakkara. Kata itu, disamping bermakna seperti disebut di atas, juga mengandung arti to reflect (merenung) sehingga dalam proses berpikir terkandung juga kegiatan yang bersipat refleksi (permenungan) terhadap obyek yang dipikirkan itu. Ketika seorang berpikir, ia tidak hanya memperoleh informasi (data-data atau fakta-fakta) saja. Ia juga dan ini yang paling utama memperoleh hikmah dan kebijaksanaan. Banyak orang memiliki ilmu, tetapi sedikit saja yang memiliki kebijaksanaan. Dan seutama-utamanya berfikir adalah berpikir menu hikmah itu. Semakin dalam seorang berpiir, semakin tajam kekuatannya, dan itu berarti semakin bijaksanalah dia. Al Qur’an berulang-ulang menandaskan bahwa hikmah itu dapat diberikan kepada siapa saja. Siapa yang telah memperoleh hikmah, ia seseungguhnya telah diberi nikmat yag banyak (QS Al Baqarah [2]: 269). Tadzakkur adalah salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan dzakariah (ingatan) adalah tempat penyimpann pengetahuan dan informasi yang diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat dibutukan. Manusia, menurut Qardhawi, tidak bias hidup tanpa tadzakur dan dzakariah. Entah di dunia, entah di akhirat.
Ada perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur. Untuk memperoleh pengetahuanbaru dan segar, maka tafakur diperlukan. Sedangkan untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan lalai, tadzakkur diperlukan. Imam Al-Ghazali mempertegas posisi keduanya, “Setiap orang yang berpikir adalah ber-tadzakkur namun, tidak setiap ber-tadzakkur itu berpikir.”
·         Kata ‘Ilm. Dari semua pekerjaan akal, akar kata ‘ilm dan kata turunannya paling banyak disebut. Menurut Quraish Shihab ada sekitar 854 kali disebut. Istilah ini terdapat dalam surah Makkiyah dan Madaniyah secara seimbabng dengan semua kata jadiaannya: sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan.
Kata itu digunakan dalam arti proses pencarian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Dari segi bahasa, ‘ilm berarti kejelasan. Setiap turunannya termaktub makna “kejelasan” itu. Misalnya, ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing, a’alam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat). Tiap-tiap kata itu menjadi penjelas bagi apa yang ditunjuk. Misalnya, gunung menjadi jelas karena lansung terlihat pada bibir seseorang.
Makna dasar lain kata ‘ilm adalah, menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Ia juga dipakai untuk menyebut suatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek. Karena itu, menurut pandangan AL Qur’an, seseorang yang menjangkau sesuatu dengan benaknya, tetapi jangkauannya itu masih disertai keraguan, maka ia tidak bias disebut sebagai orang yang mengetahui apa yang dijangkaunya itu. Kondisi ini bukan’ilm, tetapi zhann. Secara semantic, jalan yang dilalui kata ‘ilm sedikit berbeda dengan kata ‘aql. Bila kata ‘aql mengalami pemadatan makna dalam makna dasarnya, maka kata ‘ilm justru dalam makna relasionalnya. Makna dasar kata ‘ilm samapada setiap system yang memakainya, baik pra-Islam, Al Qur’an, maupun teologi Islam. Namun, makna relasionalnya menjadi berbeda sejauh menyangkut sumber ilmu itu sendiri.
·         Kata Nazhar. Kata ini oleh Quraish Shihab, diartikan sebagai “nalar”. Kata ini digunakan secara tegas sebagai “memandang dengan mata kepala dan mata hati”. Secara harfiah, kata itu dekat dengan akata al fahsu (penyelidikan) atau kontemplasi (al-ta’ammul). Juga semakna dengan melihat (ra’yu) dan memandang dengan mata (basher). Secara istilah, ia menggambarkan proses pengertian terhadap sesuatu hal atau objek. Mulal-mula melalui pandangan mata (kepala) yang memaksa seseorang memperhatikan suatu objek. Setelah itu, ia akan berpikir untuk meyakinkan dirinya tentag kebenaran objek tersebut. Mungkin makna itu dapat diwakili oleh kalimat pleonastic berikut : melihat dengan mata kepala sendiri. Seseorang akan betu-betul yakin terhadap sebuah objek jika ia melihat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Metode empiris dalam ilmu pengetahuan dapat dijelaskan melalui penelusuran kata “nazhar” itu. Pengetahuan yang dihasilkan melalui metode ini cukup akurat, karena telah melalui penyelidikan yang mendalam (al-ma’rifat hashila al-ba’da’ fahshi).
·         Kata al Albaab atau ‘uqul adalah bentuk jamak dari term ‘lubbu’ artinya ‘isi’. Yaitu antonym dari ‘kulit’. Seakan-akan Al Qur’an ingin menunjukkan bahwa manusia terbagi atas dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk fisik bagian luar manusia adalah ‘kulit’ sedangkan ‘isi’nya manusia adalah ‘akal’. Menurut Imam al-Biqa’I berkata, “Albab adalah yang member mamfaat kepada pemiliknya dengan memilah sisi substantial dari kulitnya”. Al Harali berkata, “Ia adalah sisi terdalam akal yang berfungsi untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal yang dapat diinderai, seperti halnya sisi luar akal yang berfungsi untuk menangkap hakikat-hakikat mahkluk, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Rabb mereka melalui ayat-ayatnya (lihat tafsir Nuzhumud Dhuhar [3/32]). Term, ‘ulul albaab atau ulil albaab’ terulang dan disebut dalam Al Qur’an sebanyak 16 kali, 9 diantaranya dalam ayat-ayat Makkiyah, tujuh lainnya terdapat dalam ayat-ayat Madaniyah. Empat ayat Madaniyah diantaranya dengan redaksi memanggil “yaa uil-albaab” yaitu : 1). QS al Baqarah [2]: 179, 2) QS. Al Baqarah [2]: 197, 3) QS al Maa’idah [5]: 100, dan 4) QS al Thalaq [65: 10-11.
  























BAB III
PENUTUP

Akal pada prinsipnya menurut Islam berdasarkan wahyu merupakan potensi atau bagian dari manusia yang berfungsi untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan termasuk kebenaran Ilahiah atau metafisik. Proses bekerjanya, secara biologis dan psikis, tidak dijumpai penjelasan detai dalam Al-Quran. Namun dapat ditangkap dari isyarat al-Quran bahwa cara bekerjanya akal tidak dapat dipisahkan dengan fu’ad yang ditemukan dalam beberapa ayat (Al Quran). Fu’ad bermakna penglihatan dan pendengaran. Selain itu, memahami cara bekerjanya akal dapat ditelusuri dari sejumlah terma yang semakna dengan akal yang ditemukan dalam Al-Quran, misalnya, tadhabbara, alzikr, al-ilm, dan lain-lain. Jelasnya, akal bekerja pada wilayah kegiatan mengingat, mengerti, memahami, dan merenungkan suatu objek.


















DAFTAR PUSTAKA



Al Quran dan terjemahannya.

Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya:Bina Ilmu: 1982.

Taufik Muhammad Izzuddin, Dalil Anfus Al Quran dan Ebriologi, Solo;Tiga Serangkai, 2006

Taufik Pasaik, Brain Management for self Improvement, Bandung:Mizan, 2007.

--------------------, Manajemen kecerdasan,Bandung:Mizan, 2006.

Yusuf Qardhawi, Al Quran Bicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,jakarta:Gema Insani Press, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar